SAMPULNUSANTARA.COM – Tidak ada tafsir tunggal dari Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan tentang perkawinan beda agama. Bahkan Mahkamah Agung menyatakan UU Perkawinan tidak memuat ketentuan mengenai perbedaan agama antara calon suami dan istri merupakan larangan perkawinan. Hal ini sejalan dengan Pasal 27 UUD 1945 yang di dalamnya juga mencakup hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara meskipun berbeda keyakinan.
Demikian keterangan yang disampaikan oleh Ade Armando dalam kapasitasnya sebagai Ahli yang dihadirkan E. Ramos Petege (Pemohon) pada sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kamis (28/7/2022), dikuti dari mkri.id
Terhadap persoalan perkawinan beda agama ini, Ade Armando yang juga pakar Komunikasi Bidang Semiotika (mempelajari tanda, pesan, teks) melandaskan pemikirannya pada teks-teks Islam. Menurutnya, tidak ada satu pun teks di dalam Al-Qur’an yang mengharamkan semua bentuk pernikahan antaragama. Hal yang secara jelas disebutkan dilarang, sambung Ade, hanyalah pernikahan antara muslim dengan musyrik dan kafir. Sehingga tidak ada yang menyatakan pernikahan beda agama termasuk antara muslim dengan Nasrani adalah sesuatu yang haram.
“Jadi, yang berlangsung adalah perbedaan tafsir, dan perbedaan ini yang menyebabkan perbedaan keyakinan memahami aturan mengenai perkawinan beda agama,” sebut Ade dalam Sidang Perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya ini dilaksanakan dari Ruang Sidang Pleno MK yang diikuti para pihak secara daring.
Hak Fakultatif
Pada kesempatan yang sama, Pemohon juga menghadirkan Rocky Gerung sebagai Ahli. Rocky menyampaikan pandangannya berdasarkan filsafat hukum. Menurutnya, UU Perkawinan justru bermasalah karena mengatur yang disediakan oleh alam. Perkawinan adalah peristiwa perdata dan di dalam undang-undang disebut sebagai hak dan bukan kewajiban. Dalam undang-undang tersebut jelas mengatakan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan. Sehingga hak dapat dimaknai sesuatu yang boleh diambil atau dilaksanakan dan boleh tidak. Kedudukan hak tersebut adalah fakultatif bukan imperatif.
“Oleh karena itu perkawinan adalah hak dan bukan kewajiban. Jika seseorang menggunakan haknya, maka negara harus mencatatkannya secara administratif bahwa dia telah menggunakan haknya,” jelas Rocky.
Demikian juga hak beragama, menurut Rocky, juga bukan kewajiban sehingga negara tidak boleh menyuruh orang untuk beragama. Sehingga, dari dua hak yang bersifat fakultatif ini, negara tidak punya alasan menjadikannya menjadi imperatif atau keharusan. Maka, hal ini dipandang Rocky menjadi sebuah kekacauan logis yang berakibat pada paradoks.
Oleh karena itu, setiap perkawinan adalah keputusan privat setiap orang yang harus dilayani oleh negara. Maka, demi ketegasan tentang hak dan kewajiban negara hanya boleh mencatat peristiwa itu sebagai peristiwa perdata.
“Yang jadi masalah sekarang adalah negara memanfaatkan agama untuk mengatur kamar tidur orang, itu enggak boleh. Demikian sebaliknya, agama memanfaatkan negara untuk mengintip kamar tidur orang, itu juga enggak boleh. Bahwa kemudian itu dosa, segala macam, itu urusan dia dengan akhirat nanti itu. Bukan urusan negara untuk memastikan hal-hal yang bersifat privat itu,” jelas Rocky.